SERAMBI LAMPUNG -Publik Lampung kini menatap tajam kinerja Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung. Pertanyaan besar menggema: beranikah Kejati menetapkan tersangka terhadap mantan Gubernur dan Bupati jika memang terbukti melakukan korupsi? Ataukah kasus ini hanya akan berakhir sebagai sandiwara hukum yang kehilangan arah?
Setelah heboh pemeriksaan mantan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi dalam kasus dugaan korupsi participating interest (PI) 10 persen di wilayah kerja Offshore South East Sumatra (WK OSES) senilai 17,28 juta USD, kini giliran mantan Bupati Pesawaran, Dendi Ramadhona, yang diseret ke meja penyidik.
Dendi diperiksa hampir sepuluh jam, dari pukul 13.00 hingga 23.49 WIB, terkait dugaan korupsi proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) tahun 2022 dengan nilai Rp8 miliar. Aspidsus Kejati Lampung, Armen Wijaya, membenarkan pemanggilan itu.
“Hari ini kita melakukan pemanggilan tahapan penyelidikan terhadap kegiatan pekerjaan yang ada di Kabupaten Pesawaran,” katanya dihadapan sejumlah Awak media.
Belasan saksi sudah diperiksa, aliran dana DAK dikuliti, bahkan regulasi dan kewenangan kepala daerah ikut ditelisik.
Namun publik tidak ingin hanya mendengar kata penyelidikan dan pemanggilan saksi semata. Rakyat menuntut kepastian, siapa yang salah, siapa yang harus bertanggung jawab, dan siapa yang harus masuk bui.
Kejati Lampung jangan hanya gagah ketika memeriksa, tetapi ciut saat harus menetapkan tersangka pejabat kelas berat. Hukum tidak boleh tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Jika benar ada korupsi, siapapun pelakunya mantan gubernur, bupati, bahkan pejabat sekelas menteri harus diseret ke pengadilan.
Kini, keberanian Kejati Lampung sedang dipertaruhkan di hadapan rakyat. Apakah hukum benar-benar menjadi panglima, atau sekadar tameng bagi mereka yang pernah berkuasa? Lampung menunggu, dan sejarah akan mencatat apakah Kejati punya nyali atau justru bertekuk lutut di hadapan para mantan penguasa.
(Red).
