Oleh: Resi Is Junanda
Di sebuah desa kecil yang bergelut dengan debu dan harapan, papan nama sekolah dasar berdiri miring diterpa angin. Di balik tembok-tembok ruang kelas yang mulai rapuh, lahir sebuah fenomena sosial baru: menjadi guru bukan lagi semata panggilan jiwa, tapi juga ladang rezeki yang menjanjikan. Sertifikasi guru telah mengubah peta cita-cita masyarakat Lampung Utara.
Dulu, guru dikenal sebagai profesi yang dijalani dengan hati–pengabdian sunyi untuk mendidik bangsa, walau sering kali diiringi penghasilan seadanya. Tapi kini, aroma tunjangan profesi menggoda banyak pihak. Gaji yang dulunya dinilai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kini berubah menjadi cicilan motor, bahkan rumah.
“Sekarang orang berlomba-lomba mau jadi guru, bukan karena mau mengabdi, tapi karena tergiur tunjangannya,” ujar Pak Edi, salah satu guru senior di sekolah dasar di Kecamatan Abung Timur. “Saya tidak menyalahkan. Tapi banyak yang datang ke profesi ini dengan niat yang kabur.”
Tunjangan Sertifikasi: Mimpi atau Ilusi?
Program sertifikasi guru, yang dimaksudkan sebagai bentuk penghargaan negara kepada tenaga pendidik profesional, kini menjadi magnet sosial. Di Lampung Utara, daerah yang masih bergelut dengan ketimpangan ekonomi dan pendidikan, minat menjadi guru semakin menonjol.
Data dari Kemendikbudristek mencatat, pada awal 2025, lebih dari 66.000 guru di Provinsi Lampung belum tersertifikasi. Artinya, ruang untuk merebut status guru bersertifikat masih terbuka lebar. Hal inilah yang mendorong semakin banyak orang mendaftarkan diri dalam program Pendidikan Profesi Guru (PPG), meskipun belum ada data pasti yang dirilis oleh Dinas Pendidikan Lampung Utara mengenai lonjakannya.
“Mau cari kerja apa lagi? Jadi PNS guru sekarang lebih menjanjikan daripada kerja di toko atau merantau ke Jakarta,” kata Dewi (23), yang kini tengah sibuk menempuh program PPG. “Kalau sudah sertifikasi, hidup lebih pasti. Ada gaji tetap, ada tunjangan, tiap tahun bisa naik.”
Namun di balik janji itu, ada tanya: apakah benar profesi guru bisa dijalani hanya karena iming-iming ekonomi?
Guru Jadi Komoditas, Sekolah Jadi Jalur Cepat?
Fenomena ini membuka pasar baru. Lembaga-lembaga pendidikan keguruan menjamur, bagaikan jamur di musim hujan. Banyak kampus swasta membuka jalur-jalur khusus agar para “calon guru tunjangan” bisa masuk dengan mudah. Tidak sedikit yang menawarkan sistem pembelajaran instan, bahkan mengiklankan kemungkinan cepat lulus dan langsung sertifikasi.
Tak hanya itu, isu pungutan liar, “jalur dalam”, dan biro jasa yang mengurus sertifikasi dengan imbalan tertentu pun beredar dari mulut ke mulut. Di balik senyum guru-guru muda yang baru menerima tunjangan pertama, tersimpan kekhawatiran: apakah profesi ini akan jadi ladang baru para pencari cuan, bukan pencari ilmu?
“Yang kasihan itu murid-murid di pelosok,” kata Ibu Rini, guru senior di Kotabumi. “Kalau guru yang datang cuma mau kejar tunjangan, tapi mengajar seadanya, siapa yang rugi? Anak-anak. Mereka bukan mesin ATM. Mereka butuh dididik, bukan dihitung nilainya seperti slip gaji.”
Antara Harapan dan Kekhawatiran
Tidak bisa dimungkiri, sertifikasi guru telah memperbaiki nasib ribuan pendidik. Banyak guru yang sebelumnya hidup pas-pasan kini bisa menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi. Kehidupan sosial mereka terangkat, harga diri di mata masyarakat meningkat.
Namun, fenomena ini juga menciptakan distorsi. Profesi guru yang dulunya eksklusif bagi mereka yang benar-benar memiliki komitmen, kini menjadi terbuka bagi siapa pun yang ingin jaminan finansial.
Sejumlah pengamat pendidikan memperingatkan bahwa gelombang minat menjadi guru karena tunjangan sertifikasi harus disikapi hati-hati.
“Di satu sisi, ini insentif yang baik bagi profesi guru yang selama ini terpinggirkan. Tapi di sisi lain, ada risiko profesi ini dikomersialisasi jika proses rekrutmen dan sertifikasinya tidak diawasi secara ketat, baik dari sisi kompetensi maupun integritas,” ujar seorang akademisi bidang pendidikan di Lampung yang tidak ingin disebutkan namanya.
Masa Depan Pendidikan: Menata Ulang Makna Mengabdi
Lampung Utara hari ini menjadi cermin bagi wajah pendidikan Indonesia secara keseluruhan. Di tempat yang semestinya menumbuhkan benih intelektual dan karakter, kini tumbuh juga benih-benih kepentingan ekonomi yang rawan disalahgunakan.
Namun semua belum terlambat. Pemerintah daerah dan pusat masih punya ruang untuk memperbaiki sistem: memperketat proses sertifikasi, mengawasi lembaga pendidikan keguruan, serta membangun kultur pendidikan yang menempatkan integritas di atas insentif.
“Guru harus kembali menjadi teladan, bukan sekadar pencari tunjangan,” tegas Pak Edi, guru yang telah mengabdi 23 tahun. “Kalau tidak, kita akan kehilangan satu generasi anak-anak yang hanya melihat guru sebagai pegawai, bukan pelita.”
Fenomena orang-orang berbondong-bondong ingin menjadi guru di Lampung Utara bukan semata kabar buruk. Ini juga sinyal bahwa profesi guru, akhirnya, mulai mendapat tempat yang layak di mata masyarakat. Tapi ketika ekonomi menjadi alasan utama, maka kualitas dan integritas harus dijaga lebih ketat. Sebab pendidikan bukan sekadar profesi –ia adalah amanah peradaban.
