(Oleh: Reza Adhi Nugroho, M.Pd – Akademisi Olahraga)
Serambi Lampung.com – Provinsi Lampung tampaknya sedang naik daun di dunia olahraga. Dalam beberapa tahun terakhir, kontingen Sai Bumi Ruwa Jurai ini rutin menembus 10 besar ajang multievent nasional — mulai dari PON Aceh–Sumut, PON Beladiri, hingga POPNAS. Artinya apa? Artinya Lampung bukan lagi sekadar “pemain figuran” yang tampil di pembukaan acara, tetapi sudah menjadi salah satu pemeran utama yang diperhitungkan di panggung olahraga nasional.
Nah, di tengah geliat prestasi itu, muncullah Desain Besar Olahraga Daerah (DBOD) — yang disebut-sebut sebagai “kitab suci baru” bagi insan olahraga Lampung. Konon, DBOD akan menjadi kompas kebijakan olahraga daerah. Namun, entah kenapa, kompasnya tampak masih perlu dikalibrasi. Arah jarumnya kadang menunjuk ke utara, tapi tak jarang juga ke “entah ke mana”.
Beberapa waktu lalu, Forum Group Discussion (FGD) yang digagas KONI Lampung bersama salah satu universitas negeri digelar dengan semangat membara. Sayangnya, hasilnya justru membuat banyak orang garuk-garuk kepala — bukan karena ketombe, tapi karena bingung:
DBOD ini sebenarnya mau ke mana sih?
Fokus awalnya disebut untuk menemukan cabang olahraga unggulan, tetapi ujung-ujungnya justru melebar ke pembahasan industri olahraga. Lho, prestasinya ke mana? Seolah-olah prestasi kini jadi topping opsional, bukan bahan utama. Padahal mari jujur — siapa yang mau beli alat olahraga mahal kalau prestasi atletnya saja tak tampak? Kalau prestasinya tenggelam, industrinya pun ikut karam.
Prestasi adalah pondasi, industri hanyalah efek domino, bukan sebaliknya. Tapi sepertinya ada yang salah kaprah. Entah karena ada kepentingan terselubung berbalut DBOD, atau jangan-jangan ini hanya proyek pengumpulan data skripsi seseorang yang belum sempat revisi Bab Tiga.
Yang lebih menggelitik, beberapa kampus yang terbukti berkontribusi besar terhadap prestasi olahraga daerah justru tidak dilibatkan dalam penyusunan DBOD. Padahal, mahasiswa mereka sering membawa pulang medali dari ajang nasional. Sementara kampus lain yang kontribusinya belum jelas malah duduk manis di kursi undangan. Ironi? Tentu saja. Di dunia olahraga, prestasi sering kalah pamor dari relasi.
Dan di tengah semua ini, kita masih punya tagline sakral dari KONI:
“Sinergitas untuk Prestasi.”
Sayangnya, sinergi itu kadang hanya berhenti di spanduk, sementara prestasi berhenti di wacana. Ego personal masih menjadi “lawan tanding” paling berat, bahkan sebelum turun ke gelanggang.
Maka sebelum DBOD benar-benar berubah makna menjadi “Desain Bingung Olahraga Daerah”, mari semua pihak duduk bersama. Tak perlu bawa ego, cukup bawa kopi dan niat baik. Sebab membangun olahraga bukan kerja satu kampus, satu lembaga, apalagi satu orang. Ini kerja bersama, sadar, dan ilmiah.
Jika arah DBOD Lampung dapat diperjelas, bukan mustahil Lampung benar-benar menjadi provinsi yang bukan hanya tampil di papan 10 besar, tetapi juga menjadi barometer olahraga nasional, bahkan dunia.
DBOD seharusnya bukan sekadar “kitab suci” olahraga, tetapi panduan yang diamalkan oleh seluruh insan olahraga Lampung untuk meraih prestasi yang lebih tinggi dan berkelanjutan.









