BANDAR LAMPUNG — Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lampung genap berusia 55 tahun. Sebuah perjalanan panjang menjaga marwah pers, dari semangat perjuangan hingga profesionalisme yang terus diperkuat.
PWI bukan sekadar organisasi profesi. Ia adalah bagian dari sejarah bangsa. Lahir di Surakarta pada 9 Februari 1946, PWI menjadi organisasi wartawan pertama di Indonesia. Tanggal berdirinya kini diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN), menandai betapa strategisnya peran jurnalis dalam perjalanan republik.
Di Lampung, semangat membangun wadah wartawan telah muncul jauh sebelum daerah ini berstatus provinsi. Awal 1950-an, lahir Persatuan Pelajar Wartawan Indonesia (PPWI) yang bermarkas di Telukbetung, digagas oleh Ismet Ismail dan Anang Hoesin. Namun dinamika organisasi berjalan cepat. PPWI pecah, lahir IPWI dan kemudian Yaperda, yang sayangnya tak mampu menyatukan perbedaan visi.
Situasi itu mendapat perhatian Residen Lampung saat itu, Raden Muhammad. Ia menghibahkan tanah dan bangunan seluas 720 meter persegi di Durianpayung, Tanjungkarang, untuk membangun Balai Wartawan. Lewat inisiasi Zainal Abidin Daud dan dipimpin Paridjo Hardjo, terbentuklah organisasi tunggal bernama Pewarta Lampung.
Namun, politik nasional bergolak. Gerakan 30 September 1965 (Gestapu PKI) meletus. Di tengah situasi genting, wartawan Lampung turun ke jalan, membantu TNI, melakukan aksi corat-coret, menduduki kantor PKI dan Sobsi. Sebuah aksi keberanian demi mempertahankan keutuhan bangsa.
Pasca peristiwa itu, para wartawan melakukan perjalanan spiritual mendaki Gunung Rajabasa. Dari sanalah lahir nama Pantai Wartawan—simbol kebersamaan yang hidup hingga kini, meski secara hukum belum bisa diklaim sebagai aset resmi.
Akhir Desember 1965, PWI Perwakilan Lampung resmi dibentuk. Lalu pada 29 Mei 1970, PWI Pusat menetapkan perubahan status menjadi PWI Cabang Lampung lewat SK Nomor 018/P.P/1970. Tongkat estafet kepemimpinan pun dimulai.
Jejak Tokoh, Warisan Semangat
Solfian Akhmad tercatat sebagai ketua pertama (1970–1972). Ia adalah tokoh penting pendiri Harian Lampung Post dan dikenal sebagai “Mullah Pers Lampung”, julukan yang diberikan Rosihan Anwar.
Muhaimin Kohar, tokoh pejuang sekaligus jurnalis, sempat bertempur bersama pasukan RPKAD. Ia memimpin PWI Lampung periode 1972–1974.
Martubi Makki memimpin pada 1990–1994 dan sukses menjadikan Lampung tuan rumah Kongres Nasional XIX PWI dan Porwanas V tahun 1993, yang dibuka langsung oleh Presiden Soeharto.
Agus Soelaeman (1994–1998) dikenal tegas dan idealis. Ia berani menertibkan keanggotaan dari oknum wartawan yang tak bertanggung jawab.
Harun Muda Indrajaya (1998–2002) adalah wartawan sejati. Hingga akhir hayatnya, ia tetap menulis, menandai dedikasi yang tak lekang waktu.
Akhmad Rio Teguh (2002–2010), pewaris semangat Solfian Akhmad, memperluas jangkauan PWI dengan membentuk delapan perwakilan kabupaten.
Supriyadi Alfian memimpin dua periode (2011–2021). Di masanya, dilaksanakan 24 Uji Kompetensi Wartawan (UKW), pendirian Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI), hingga renovasi besar Balai Wartawan menjadi gedung representatif.
Kini, tongkat estafet berada di tangan Wirahadikusumah. Di bawah kepemimpinannya (2021–2026), PWI Lampung meneguhkan komitmennya pada pendidikan jurnalistik. Kolaborasi dengan sekolah dan kampus terus dijalin, mencetak jurnalis yang tidak hanya tajam menulis, tapi juga menjunjung tinggi etika.
Warisan dan Harapan
Lima dekade lebih, PWI Lampung terus berdiri di garis depan menjaga integritas profesi. Dari semangat perjuangan menuju era profesionalisme, dari idealisme menuju kerja nyata.
Ini bukan sekadar catatan sejarah. Ini adalah perjalanan sebuah keyakinan: bahwa pers adalah pilar demokrasi, dan wartawan adalah penjaga nurani bangsa.
Selamat 55 tahun, PWI Lampung. Tetaplah menyuarakan kebenaran, menjaga marwah pers Indonesia. (*)
