PRISMATIK, dan HYBRID DALAM JEJAK SISTEM POLITIK KITA
Oleh
DR (Cand) Wendy Melfa
Direktur Badan Saksi Nasional PG Wilayah Lampung
Dewan Pakar PMW KAHMI Lampung
PENGANTAR
Ide Pemilu sistem hybrid, dilontarkan oleh Arief Hidayat Guru Besar Ilmu Hukum Undip Semarang yang saat ini sedang bertugas sebagai Hakim Konsitusi pada Mahkamah Konstitusi RI yang berharap ada titik temu atas polemik sistem Pemilu proporsional terbuka vs proporsional tertutup yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, ini dilema yang pertama. Selanjutnya dilema yang kedua adalah soal waktu yang saat ini sudah memasuki injury time pelaksanaan Pemilu 2024, tahapan Pemilu 2024 sedang berjalan. Dua dilema inilah yang dalam waktu dekat harus diselesaikan oleh MK melalui putusannya (detiknews, 9/4/23).
Hal yang hampir sama, juga disampaikan Wirahadikusuma, Ketua PWI Lampung; selain soal issue penundaan Pemilu yang masih bertiup hangat, juga ada soal mengenai sistem Pemilu, apakah menggunakan proporsional tertutup atau terbuka ? (LAMPUNG@RILIS.ID, 6/4/23). Dari kedua sumber tersebut, cukup mewakili kegundahan bangsa yang saat ini cemas menghadapi Pemilu 2024 yang waktu pemungutan suaranya kurang dari 1 tahun, dan tahapannya Pemilunya sedang berjalan.
Arief Hidayat lebih lanjut menguraikan, bahwa sistem Pemilu proporsional tertutup maupun terbuka masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, maka diusulkan untuk menggabungkan keduanya dengan mengambil sisi kebaikan dari kedua sistem itu untuk dipadukan sebagai sistem hybrid menjadi sistem Pemilu berdasarkan ideologi Pancasila, dan Konstitusi UUD 1945.
JEJAK DALAM SISTEM POLITIK
Menggabungkan dua atau lebih konsep dengan mengambil sisi-sisi baik dari konsep-konsep itu untuk menjadi sebuah konsep baru, itu lah yang dimaksud dengan sistem hybrid, atau secara teori disebut konsep Prismatik. Konsep ini bukanlah hal baru dalam jejak sistem politik Indonesia, ketika para pendiri bangsa sedang menyusun ideologi yang lebih cocok dengan karakter bangsa Indonesia ditengah eksistensi ideologi negara-negara di dunia, ada ideologi kapitalis, ada sosialis, ada komunis dan lainnya, Indonesia memilih dan meneguhkan ideologi Pancasila.
Contoh lain, ketika bangsa-bangsa memposisikan negara dalam blok tertentu (sekutu), ada blok barat, ada blok timur, blok Asia Timur Raya, blok Timur Tengah dll yang menimbulkan ketegangan, Indonesia dengan kekuatan diplomasinya mengajak beberapa negara lain membentuk Non Blok, sampai dalam praktik sistem politik dan juga hukum, dewasa ini terdapat UU yang menggabungkan sistem hukum Anglo Saxon dan Eropa Kontinental, seperti UU Lingkungan Hidup dll. Jadi pilihan kepada “kompromi” menggabungkan dua konsep dengan mengambil sisi baik dari masing-masing konsep sudah pernah dilakukan dan berjalan dalam sistem politik Indonesia, itulah yang disebut dengan konsep hybrid atau prismatik.
Konsep Prismatik, diperkenalkan oleh Fred W. Riggs, yang meletakkan dua kelompok nilai sosial antara masayarakat paguyuban dan patembayan sebagai landasan untuk membangun sistem hukum yang penjabarannya disesuaikan dengan nilai-nilai masyarakat yang bersangkutan sebagai nilai prismatik. Konsep ini lalu di Indonesia secara teori dipopulerkan oleh Mahfud MD, meskipun dalam praktik sudah mulai diterapkan oleh para pendiri pelaku-pelaku sejarah bangsa sejak awal berdirinya Indonesia, yang kemudian konsep prismatik ini populer disebut konsep jalan tengah, karena menyatukan dengan mengambil sisi-sisi baik dari dua konsep yang berbeda.
JALAN TENGAH yang INTEGRATIF
Wacana hybrid yang ditawarkan dimaksudkan sebagai jalan tengah menghadapi dilema pilihan antara sistem pemilu, dilema kedua adalah soal waktu dengan mempertimbangkan tahapan Pemilu sedang berjalan, yang waktu pemungutan suaranya dalam injury time. Memutuskan sesuatu yang dilema, apalagi setiap sistem Pemilu proporsional terbuka atau tertutup tersebut mempunyai “pendukung” masing-masing, dan risiko “turbulensi” politik juga tetap dipertimbangkan sebagai dampak putusan yang dianggap jalan tengah, akan menjadi tidak jalan tengah manakala putusan yang dihasilkan ternyata berat sebelah (tidak adil).
MK RI melalui putusannya nanti, diharapkan mempunyai dalil dan pertimbangan hukum yang kuat dan berdasar, mengingat MK melalui putusannya No. 22-24/PUU-VI/2008 yang terdahulu pernah mengubah sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka, tentu hal ini berkaitan dengan asas kepastian hukum. Faktor ketiga yang dapat dijadikan sandaran adalah, tentang kemanfaatan yang tervisualisasikan dengan jelas dengan adanya (kemungkinan) perubahan sistem Pemilu Indonesia melalui putusan MK sebagai landasannya.
Faktor lain yang tidak kalah urgen dalam mempertimbangkan (kemungkinan) perubahan sistem Pemilu, meskipun itu dibalut dengan sistem pemilu hybrid atau prismatik yang menawarkan jalan tengah, yaitu timming-nya. MK RI dalam putusannya kelak, tentu tidak akan sampai kepada pengaturan teknis dan operasional tentang sistem Pemilu jalan tengah.
Untuk keperluan itu tetap akan dibahas, dirancang, disahkan oleh pembuat UU, dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI, membutuhkan waktu, energi dan persepsi untuk menuntaskan hal tersebut. Barangkali “juga” sebagai jalan tengah, meskipun (kemungkinan) akan ada perubahan sistem Pemilu melalui putusan MK RI, pemberlakuannya untuk Pemilu yang akan datang setelah Pemilu 2024, ada banyak cukup waktu untuk mempersiapkan baik regulasi turunannya, persiapan pelaksanaanya baik oleh Partai Politik, Penyelenggara Pemilu, dan juga Pemerintah. Dengan demikian, jalan tengah yang dihasilkan untuk mengatasi dilema bangsa ini adalah jalan tengah yang integratif, jalan tengah yang menyatukan, bukan jalan tengah yang menimbulkan kegagapan dan justru menimbulkan soal-soal baru. (*).